Kembali Ke Index Video


Komisi Yudisial ‘Proses Seleksi Hakim Agung - Hakim Ad Hoc Harus Ttransparan Serta Akuntabel

Sabtu, 18 September 2021 | 20:56 WIB
Dibaca: 399
Komisi Yudisial ‘Proses Seleksi Hakim Agung - Hakim Ad Hoc Harus Ttransparan Serta  Akuntabel
GEDUNG KOMISI YUDISIAL JAKARTA

Yogyakarta -Pastvnews.com Mahkamah Konstitusi (MK) tengah melakukan pengujian terhadap salah satu kewenangan Komisi Yudisial, yaitu dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc. Berdasarkan Pasal 13 Huh 18 Tahun 2011.

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia beranggapan bahwa pasal tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya dan bertentangan dengan Pasal 24 B ayat (1) dan 28 D ayat (1) UUD N RI Tahun 1945.

Direktur PUSHAM UII Yogyakarta, Eko Riyadi, SH.MH menyampaikan  terhadap kondisi ini, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), yang selama ini banyak melakukan pendampingan dan advokasi penguatan kekuasan kehakiman di Indonesia, memberikan catatan sebagai berikut:

Pertama, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Komisi Yudisial lahir sebagai kehendak politik untuk mengembalikan marwah insitusi peradilan (Mahkamah Agung dan Pengadilan di bawahnya) pasca keruntuhannya di bawah bayang-bayang pemerintahan orde baru.

 Eko Riyadi juga menjelaskan Komisi Yudisial hadir untuk meneguhkan kembali independensi dan akuntabilitas peradilan melalui fungsi kontrol dan rekrutmen hakim dalam rumpun kekuasaan yudikatif.

Oleh karena itu tidak dapat dinafikan bahwa, Komisi Yudisial merupakan organ negara yang didesain untuk menangani sistem rekrutmen hakim (judicial recruitment) yang dulunya dinilai bermasalah. Keberadaan KY hari ini, tentu bukan tanpa catatan, tapi peranannya dalam penguatan kekuasaan kehakiman cukup signifikan.

Senada dengan itu, maka jika mendengarkan apa yang disuarakan oleh dunia akademis dan masyarakat sipil hari ini adalah mengkuatkan lebih l

Kedua, terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi dan mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung harus melihat pada konsepsi yang lebih makro.

UUD sendiri memang tidak menyatakan dengan  kewenangan KY untuk mengangkat hakim ad hoc, namun juga harus dipahami bahwa UUD juga tidak melarang KY untuk memiliki kewenangan tersebut.

Artinya, kondisi ini menjadi open legal policy atau diserahkan kepada kehendak pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Terhadap ketentuan open legal policy ini, sebagai mana pendapat MK dalam Putusan No. 43/PUU-XIII/2015 bahwa MK sebagai lembaga yudikatif negara memang boleh melakukan pengujian yudisial (materil maupun formil) terhadap Undang- Undang tetapi tidak boleh membatalkan isi Undang-Undang yang tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan UUD.

Artinya, MK tidak boleh membatalkan UU yang berdasarkan pada open legal policy pembuatnya. Harus pula diperhatikan bahwa hakim ad hod di Mahkamah Agung berbeda dengan hakim ad hoc di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Hakim ad hoc di Mahkamah Agung adalah hakim yang bertugas di Mahkamah Agung, mereka duduk bersama dalam satu majelis dengan hakim (Mahkamah) Agung dalam menyelesaikan perkara-perkara yang bersifat khusus. Oleh karena itu, pada prinsipnya, hakim ad hoc di Mahkamah Agung sama dengan hakim agung.

Dengan demikian, karena hakim agung menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD diusulkan oleh Komisi Yudisial, maka hakim ad hoc di Mahkamah Agung pun, harus diusulkan oleh Komisi Yudisial. Oleh karena memperlakukan berbeda, dua hal yang memiliki substansi sama, tidak saja mengacaukan sistem ketatanegaraan, namun juga melahirkan ketidak adilan.

Keadilan adalah salah satu ruh dari martabat kemanusiaan yang harus diutamakan. Hal ini konsisten dengan pertimbangan MK dalam Putusan No. 32/PUU-XII/2014.

Ketiga, terkait dengan kelembagaan KY sebagai organ penunjang (auxiliary organ) kekuasaan kehakiman, di mana Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai organ utamanya (main organ), sebagaimana menjadi pegangan banyak pihak termasuk pemohon.

Logika tersebut sebenarnya secara tekstual tidak ada dalam UUD N RI Tahun 1945, konsep tersebut lahir dari interpretasi para akademisi dalam membaca naskah UUD, karena memang Pasal 24 ayat (2) UUD menyatakan Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

 

Namun demikian, sekalipun KY diposisikan sebagai auxiliary organ, atau bukan organ kekuasaan kehakiman utama, tidak berarti KY menjadi tidak berwenang mengusulkan hakim ad hoc di Mahkamah Agung.

Karena jika logika ini dipakai sebagai alasan bahwa karena bukan pelaku kekuasaan kehakiman maka, logika seharusnya adalah KY bukan hanya tidak berwenang dalam seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung, namun juga harus dikatakan tidak berwenang dalam pengusulan hakim agung.

Padahal kewenangan ini merupakan tugas utama KY sebagaimana yang ditentukan dalam UUD N RI Tahun 1945. Artinya, diposisikan sebagai apapun Komisi Yudisial, tidak relevan dengan kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA.

Keempat, jika kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc ini tidak diberikan kepada Komisi Yudisial, maka pertanyaannya adalah lalu lembaga negara mana yang akan mengusulkannya? Jika kewenangan pengusulan pengangkatan ini diberikan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana permohonan pemohon, maka hal ini tidak tepat karena akan memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest).

Hakim ad hoc akan duduk bersama dalam satu majelis dengan hakim agung di Mahkamah Agung dalam perkara yang mereka tangani, tidak mungkin suatu lembaga menunjuk sendiri subjek yang akan menjalankan lembaga tersebut.

Terhadap beberapa catatan tersebut, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) merekomendasikan: Pertama, karena proses seleksi hakim ad hoc yang selama ini dilakukan oleh Komisi Yudisial berbasis pada sistem yang lebih kompeten, kompetitif, transparan, dan akuntabel, maka kewenangan pengusulan pengangkatan hakim ad hoc selayaknya tetap dipertahankan menjadi kewenangan Komisi Yudisial.

Kedua, memperhatikan realitas dunia peradilan di Indonesia, maka kedudukan dan kewenangan komisi yudisial perlu dipertegas dan diperluas, baik melalui amandemen UUD maupun perubahan UU.

Ketiga, kepada Mahkamah Konstitusi, berdasarkan argumentasi sebelumnya, permohonan terhadap Pasal 13 huruf a UU Komisi Yudisial sangat lemah, tidak beralasan, dan layak untuk ditolak, terang Eko Riyadi.

Demikian yang disampaikan Direktur PUSHAM UII Yogyakarta dalam keterangan Persnya Sabtu 17 September 2021. Siaran pers ini kami sampaikan, agar dapat dipahami secara seksama. Atas perhatian dan kerjasama awak media dan segenap pihak kami ucapkan terima kasih, pungkasnya. Tim red/mar

 




Video Terkait


Tidak Ada Komentar

Tinggalkan Komentar


*) Wajib Diisi