Kembali Ke Index Video


Legenda Di Balik Rabu Pungkasan Pleret Bantul

Kamis, 8 Desember 2016 | 18:06 WIB
Dibaca: 1962
Legenda Di Balik Rabu Pungkasan Pleret Bantul
BUPATI BANTUL MELAKUKAN POTONG LEMPER BERSMA PANITIA RABU PUNGKASAN NOVEMBER 2016

Bantul media pastvnews.com,  selama ini masyarakat hanya melihat dan menidentikkan Rabu Pungkasan dengan keberadaan lemper raksasa. Sehingga ikon Rabu Pungkasan ya hanya lemper raksasa yang diarak dari masjih Nurul Huda menuju Balai Desa Pleret untuk diperebutkan.

Hinggar binggar serta keriuhan Rabu Pungkasan memang telah berlalu seiring habisnya lemper raksasa yang menjadi rebutan ratusan pengunjung. Namun seharusnya seusai perayaan Rabu Pungkasan, masyarakat harus bisa memahami, memaknai serta mengambil hikmah di balik perayaan tersebut.

Rabu Pungkasan yang digelar setiap tahun oleh Pemerintah Desa Wonokromo Pleret Bantul, yang jatuh pada setiap akhir bulan Safar, selain sebagai wujud rasa syukur juga media kebersamaan seluruh elemen masyarakat Wonokromo.

Dimana lemper yang berasal dari beras ketan, yang dikenal lengket bagai lem, dapat mempersatukan seluruh warga.

Kepala Desa Wonokromo, Edy Pudjono menjelaskan lemper ini merupakan makanan kesukaan Penembahan Senopati dan juga masyarakat Wonokromo. Bentuk lemper yang bulat memanjang juga dapat mewakili dongeng Kyai Tunggul Wulung,

yaitu sebatang kayu jati berukuran panjang 5 meter dengan diameter 2,5 meter yang digunakan oleh Panembahan Senopati sebagai perahu ketika topo ngeli dari kali Opak ke Parangtritis.  

Lebih jauh Edy Pudjono menjelaskan ada tiga versi yang menceritakan tentang Rabu Pungkasan. Yang pertama legenda Rabu Pungkasan versi Dongeng Panembahan Senopati. Kemudian ada juga cerita versi legenda Sultan Agung dan yang ketiga legenda Kyai Welit.

Rabu Pungkasan versi Dongeng Panembahan Senopati ini , sambungnya, antara lain bercerita tentang kebiasaan Panembahan Senopati yang sering bersemedi di Tempuran dan diakhiri dengan pengajian di masjid Wonokromo. Dan salah satu hidangan kesukaan Panembahan Senopati adalah lemper.

Sementara Rabu Pungkasan versi  legenda Sultan Agung ini berkisah, kata Edy Pudjono yang mengutip buku karangan Irmawan, Rabu Pungkasan merupakan upacara tradisional yang dahulu terjadi di tempuran sungai Opak.

Dan di tempuran ini, Sultan Agung melakukan tradisi nenepi atau semedi. Dalam semedinya ini Sultan Agung ditemui Ratu Kidul yang menunggangi kuda Sembrani. “Cerita satu ini banyak masyarakat yang mengetahuinya sehingga menjadi cerita turun temurun”. ujarnya.

Jika legenda Sultan Agung bertemu Ratu Kidul banyak diketahui masyarakat, beda halnya dengan legenda vesri Kyai Welit. Dalam legenda ini diceritakan di suatu tempat, yaitu alas Ketongga, hiduplah seorang Kyai yang bernama Kyai Fakih.

Karena kegemarannya membuat anyaman atau welit, yang mana hasil anyaman tersebut selalu diberikan kepada masyarakat, maka Kyai Fakih dikenal sebagai Kyai Welit.

Kyai yang juga memiliki keahlian dalam bidang pengobatan ini di suatu harai dapat mengobati puluhan orang yang sakit. Diceritakan, suatu ketika wilayah Wonokromo terserang pagebluk. Banyak warga yang menderita sakit.

Atas pengobatan Kyai Welit, hanya dengan cara disuwuk, yakni metode pengobatan dengan air putih yang diberi doa, semua masyarakat Wonokromo yang sakit bisa disembuhkan.

“Berkat keberhasilan Kyai Welit dalam mengobati, akhrinya  Kyai Welit dianugrahi sebuah perdikan oleh sang Raja, Sultan Hamengku Buwono I, berupa alas (awar-awar) yang penuh keberkahan, yaitu Wonokromo.

Wonokromo sendiri berasal dari bahasa arab, yakni Wa anna Karomah yang berarti hutan yang banyak berkahnya” sebutnya. anjar




Video Terkait


Tidak Ada Komentar

Tinggalkan Komentar


*) Wajib Diisi