Kembali Ke Index Video


Keunikan Adat Budaya Sampai Tlogo Mardhido Di Kampung Pitu Nglanggeran Gunungkidul

Senin, 31 Oktober 2016 | 09:00 WIB
Dibaca: 1875
Keunikan Adat Budaya Sampai Tlogo Mardhido Di Kampung Pitu Nglanggeran Gunungkidul
KAMPUNG PITU DI PUNCAK GUNUNG NGLANGGERAN SISI TIMUR

Patuk-media pastvnews.com Salah satu kampung yang cukup terkenal karena memiliki penduduk padat namun beda dengan Kampung yang sagtu ini ada sebuah nama kampung Pitu yang hanya ditempati 7 KK dan mitosnya,  juga memiliki keunikan tersendiri.

Masyarakat Kampung Pitu memiliki tradisi adat yang masih dilestarikan hingga sekarang. Tradisi tersebut di antaranya adalah rasulan, tingalan dan bersih makam,ada yang membedakan rasulan yang dilaksanakan di Kampung Pitu, disana rasulan dilaksanakan dua kali dalam setahun.

Tradisi tingalan atau ulang tahun di Kampung Pitu mirip dengan syukuran dengan mengadakan selamatan (kedurenan).  Yang unik di Kampung Pitu, binatang peliharaan, seperti sapi dan kerbau yang lahirpun dirayakan (diselamati), termasuk membeli sepeda motor atau mobil juga begitu, jelas Surono 40 tahun, anak dari sesepuh Kampung Pitu, Rejo Dimulyo.

“Adat sini masih dijalankan seperti selamatan (kedurenan) apabila hewan sapi atau kerbau lahir, termasuk membeli barang yang baru seperti motor atau mobil yang sama. Dan orang yang ikut kendurenan ya, dari 7 KK itu,”tutur Surono, Minggu, 30/10/2016.

Lebih lanjut Surono bercerita kalau setiap tahun ada acara bersih makam, kegiatan bersih makam tersebut dilaksanakan beberapa hari menjelang puasa Ramadhan. Makam yang dibersihkan adalah makam sesepuh dari Kampung Pitu yakni makam Mbah Iro Dikromo, yang merupakan orang pertama yang membuka lahan dan memulai kehidupan di Kampung Pitu.

“Kalau adat bersih makam dilaksanakan menjelang bulan ramadhan, makam yang dibersihkan ya, makamnya sesepuh sini, Mbah Iro Dikromo,”pungkasnya.

Di tempat berbeda Heru Purwanto, pengurus Pokdarwis Gunung Api Purba, Minggu, 30/10/2016 siang, menyejarahkan, kampung Pitu memiliki pantangan tentang kebudayaan.

Setidaknya ada tiga pantangan yang harus dihindari, yakni  saat melakukan kesenian wayang kulit, seorang  dalang dilarang  membelakangi Gunung Nglanggeran, atau sekarang disebut Gunung Api Purba.

Selain itu,  ceritanya wayang tidak boleh menceritakan tokoh wayang  Ongko Wijaya disakiti. Yang terahir wilayah bagian utara Gunung Nglanggeran tidak boleh mengadakan kesenian wayang kulit atau nanggap wayang.

“Sampai sekarangpun masyarakat tetap menghindari tetang pantangan tadi, kalau ada yang melanggar biasanya ada saja masalah yang timbul, pernah ada yang wayangan membelakangi gunung Api Purba waktu itu, ada kejadian  angin ribut (putting beliung) sampai panggung rubuh,”cerita Heru.

Di Kampung Pitu ini, Heru lanjut bercerita, terdapat sebuah sendang  yang bernama Tlogo Mardhido atau Tlogo guyangan. Mata air di sendang ini konon tidak pernah kering, meskipun musim kemarau tiba.

Oleh masyarakat sendang ini dijadikan sumber kehidupan dan keperluan sehari-hari, seperti mandi dan konsumsi. Menurut ceritanya sendang ini adalah tempat untuk memandikan kuda sembrani (jaran sembrani) . Setiap jaran sembrani yang turun dan menginjakkan kaki di batu besar samping tlogo, kaki tersebut membekas di batu.

“sampai sekarang bekas injakan kuda sembrani itu masih ada. Dan mata air Tlogo Guyangan sampai sekarang digunakan oleh masyarakat setempat untuk sumber kehidupan sehari-hari, seperti mandi dan untuk konsumsi,”terang Heru.

Pada hari-hari tertentu sendang ini ramai dikunjungi masyarakat, dan tidak hanya masyarakat sekitar yang datang tetapi banyak juga yang datang dari luar, pada  umumnya mereka yang datang  melakukan ritual maupun tirakatan di tempat ini. Sendang Tlogo Guyangan ini dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai tempat yang makbul bila kita memiliki keinginan dan berdoa memohon kepada Yang Kuasa, tutupnya. W. Joko Narendro

 




Video Terkait


Tidak Ada Komentar

Tinggalkan Komentar


*) Wajib Diisi