Inilah Kisah Bau Harum Makam Giri Gondo Kulonprogo
Jumat, 4 Desember 2015 | 09:29 WIBDi astana Girigondo, ini terdapat pesarean atau makam utama yang terletak di puncak gunung Girigondo.
Tempat tersebut disemayamkan, sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi keluarga Pakualaman, Diantara KGPA Paku Alam V, VII dan VIII. Sedangkan makam KGPAA Paku Alam IX yang mangkat (21/11) dimakamkan di sisi selatan dibawah makam utama.Menurut kisah, yang dituturkan secara turun temurun, sejarah makam khusus ini bermula dari seorang keturunan Cina, yang mencari tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasarkan fengshui Gunung keling di Kali gintung merupakan lokasi yang bagus untuk tempat peristirahatan terakhir.
Ia lalu minta izin kepada KGPAA PA V, yang saat itu berkuasa, untuk menggunakan pemakaman bagi keluarganya. Sayang keingjnannya tak dikabulkan KGPAA PA V. Sri Paduka menghendaki Gunung Keling digunakan sebagai tempat pemakaman bagi keluarganya.
Kisah bau wangi di Girigondo karena tanah gunung Keling menebarkan bau wangi maka tempat tersebut lalu disebut Giri Gondo. Gunung yang berbau harum. “Kalau soal dongeng tentang asal muasa nama Girigondo, memang pernah ada. namun karena sudah cukup lam,a , secara perlahan dongeng itu memudar.
turut juru kunci makam Drs. H Mas wedana Wasiluddin (64), Wasiludin menjelaskan pembangunan mama diprakars KGPAA PA V. adakan naik tahta 1878 dan wafat 1900.
Parakaras iutu berawal dari kondisi makam raja-raja Hastarengga, Kotagede, Yogyakarta yang tidak lagi bisa digunakan atau dan mungkin saat itu sudah jenuh maka KGPAA PA V lalu memutuskan untuk membangun sebuah kompleks makam, bagi keuarga PA, Sri PA menjadi adipati pertama yang dimakamkan khsusus keluarga-keluarga P. Sebelum digunakan sebagai makam khsusus baik keluarga PA, Papar wailuddin.
Gunung Keling merupakan bukit berkemiringan yang cukup curam saat pembangunan makama dimulai, orang yang pertama kali menerima dhawuh adalah Wonorejo, oleh itu sebab itu ketika wonorejo, meninggal, dimakamkan ditimur bangsal,tempat istirahat masyarakat ataua para peziarah.
Untuk jalan berupa undakan-undakan, sampai ke makam utama dipuncak, menurut catatan dibangun 1930,”tetang wasiluddin. Sedangkan Masjid Pakualaman yang berada di jauh dari gerbang utama dibangun sekitar tahun 1920 an,.
Pada masa lalau, lajut Wasiludddin, kerabat Pura Pakualaman, yang ingin nyekar ke Girigondo selalau meggunakan kereta hal ini karena jarak yang cukup jauh antara Girigondo dengan Yogyakarta sekitar 45 km.
yang mejajdi pengrurus taknir mesji d setempat.Tapi seperti makama raja-raja, di Imogiri, maupun Kotagede, maka peziarah di astana Girigondo tidak diharuskan mengenakan busana tertentu, seperti baju peranakan, bagi perempuan, para peziarah cukup mengenakan busana yang sopan, atau pantas dan rapi.
”Pada tahun 1960-190, astana Girigondo ramai dikunjungi peziarah, tapi seiring perjalanan waktu, peziarah hanya datang pada malam hari tertentu saja,.
Para peziarah yang datang dari luar daerah” kata wasiludin yang mengaku mengabdi sejak 1982 bahwa Astana Girigondo, menempati areal seluas 10 hektar.
Para peziarah biasanya bersuci dan shalat dimasjid terlebih dulu, sebelum berziarah ke makam utama. Wasiluddin akan menuntun para pezarah membaca jaimah thoyobbah, tahli, dzkikir dan tahmid. Selanjutnya di makam para adipati PA .Mereka akan menutup prosesi peziarahan dengan doa pribadi dan tabur bunga. ‘Isan R.
Video Terkait
- PERINGATAN HARI BAKTI KE 70 TINGKAT DIY SEDERHANA DIIKUTI JAJARAN PUPR
- Pasangan Santun Rapatkan Barisan Untuk Menangkan Pilkada Sleman
- Tahlilan Adat Trdisi Ala Kraton Pakualaman, Ketika Sunuwun Sedho